6/29/2010 12:42:00 PM
0

Sesungguhnya, semua yang membutuhkan perubahan menuju perbaikan harus memiliki tujuan yang jelas. Akan dibawa menjadi seperti apa, siapa, atau bagaimana keadaannya, nantinya. Selain untuk memudahkan pemilihan strategi, penerapan penahapan, penetapan waktu, juga pelurusan kesalahan. Yang semuanya realistis, alias sesuai dengan kondisi riilnya. Tanpa itu semua sebuah perjalanan menuju perubahan menjadi absurd, membingungkan, dan –bisa jadi- kacau. Dan seringkalinya, akibat-akibat yang ditimbulkan di kemudian hari, jauh lebih berat dan rumit dibandingkan dengan kemauan untuk sejenak merenungkan segala sesuatunya secara matang dan ‘dalam’ di awal.

Termasuk kehidupan berumah tangga tentu saja. Jauh sebelum melangkah memasukinya kita harus memahami tujuan-tujuan pernikahan, capaian-capaian yang diharapkan, serta sarana-sarana yang akan dipakai. Sehingga keinginan untuk menjelmakan secuil taman surga di dunia menemui kenyataannya. Pada kenyataannya, banyak konflik rumah tangga yang muncul karena tidak tercapainya tujuan-tujuan hidup berumah tangga, disadari atau tidak.

Bagi pasangan ‘mantan pengantin’, senantiasa menyegarkan kembali ingatan mereka akan tujuan awal pernikahan, dan secara jujur mengevaluasi keadaan riil sekarang mutlak diperlukan. Manakah capaian yang harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan, dan mana yang harus segera diluruskan, bahkan diganti kalau memang diperlukan. Atau bahkan, berbelok arah karena pemahaman akan tujuan pernikahan yang benar baru muncul belakangan.

Selain karena hati kita yang memang gampang berubah, godaan duniawi yang memang lezat, lingkungan yang sangat materialis, hingga iman yang fluktuatif menaik dan menurun, menjadi paduan kompak untuk menyelewengkan arah perjalanan biduk rumah tangga. Alih-alih, semakin tahun keadaan rumah tangga semakin kacau, menyeleweng, atau bahkan rusak.

Menurut Imam Ghazali dalam al-Ihya’, setidaknya ada lima tujuan utama pernikahan; memperoleh keturunan, menjaga diri dari tipu daya setan dan syahwat, relaksasi dan penyegaran jiwa, kerja sama dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, serta sebagai pendidikan dan pelatihan jiwa.

Tujuan-tujuan mulia yang pencapaiannya menjanjikan surga dunia, serta keridhaan ilahi Rabbi, Insya Allah. Tujuan-tujuan mulia dan bermartabat yang sangat jelas membingkai rumah tangga muslimah, dan membedakannya dengan semua bentuk percampuran lawan jenis di muka bumi ini. Dengan bentuk apapun, dan atas nama apapun.

Tujuan-tujuan ini pulalah yang mengarahkan rumah tangga muslimah bernilai ibadah, serta berpotensi menjadi pondasi utama pembangunan peradaban manusia. Ia bukan sekedar mempertemukan dua jenis kelamin untuk merengkuh kenikmatan syahwati belaka, meski itu tidak diingkari di dalam Islam.

Dari sinilah sesungguhnya, kita bisa melihat bahwa yang kita butuhkan dari pasangan kita bukan sekedar kemolekan fisik, limpahan harta, atau penjagaan nama baik saja. Rumah tangga kita tidak membutuhkan teman untuk bersenang-senang saja. Namun seringkali yang kita butuhkan adalah mereka yang mau kita ajak berjuang. Sehingga rumah tangga bisa menjadi wilayah terkecil bagi kita untuk menerapkan syariat Allah dan menjadi wujud fisik syiar syariat-Nya. Rumah tangga yang menjadi inspirasi bagi masyarakat luas untuk menerima dan mengakui kebenaran agama Allah.

Dengan pemahaman seperti ini, sesungguhnya kita bisa menilai tingkat pemahaman seseorang akan tujuan hidup berumah tangga dengan melihat siapa yang dipilih atau diterima menjadi pasangan hidupnya. Sehingga menjadi sangat aneh jika kita menemukan para ikhwan yang masih saja sibuk mempersoalkan fisik para akhwat. Atau para akhwat yang masih ribut mempertanyakan ‘kemapanan’ ekonomi ikhwan yang mengkhitbahnya. Seolah-olah semua itu akan tetap selamanya.

Dan ketika mereka mendapatkan kelebihan fisik, ekonomi, atau nasab itu dari pasangan, mereka merasa lebih beruntung dibanding dengan yang lain. Beberapa ikhwan malah terang-terangan mengincar akhwat dengan profesi tertentu karena pertimbangan ekonomi. Ada ikhwan yang hanya mau menerima data akhwat paramedis karena pertimbangan ‘masa depan’. Begitu disodori data akhwat lain langsung menolaknya. Di kalangan akhwat pun, dengan kasus yang berbeda, ada banyak kisah dengan substansi yang sama.

Meski berdalih bahwa menikah hanya untuk sekali, mengesampingkan, atau menomorsekiankan tips-tips dari Allah dan Rasulullah dalam proses pencarian pasangan hidup, jelas tampak sebagai dalih yang dicari-cari. Meski tidak semuanya salah, kita kadang perlu juga mempertanyakan niat kita sendiri saat memilih pasangan hidup.

Tapi ini memang soal keyakinan. Kita tidak bisa memaksa semua orang untuk menerima apa yang kita yakini. Selain karena kita sudah mencoba menjelaskan masalahnya, bukankah akibatnya nanti juga akan kita tanggung sendiri-sendiri? Wallahu A’lam.

0 komentar:

Plan Your Work and Work Your Plan

Plan Your Work and Work Your Plan