Dulu kita
pernah mendengar ungkapan ‘Kalau bulan bisa ngomong’, sekarang mari kita tengok
apa yang bisa dikatakan guling dan bantal di balik bilik pasutri. Berapa banyak
istri yang merasa telah memiliki seluruhnya sang suami, sehingga tak lagi
mempedulikan keadaan dirinya. Baginya tokh tidak berdosa, di hadapan suami tanpa
dandanan dan wajah tanpa riasan. Tanpa harum aroma parfum dan pakaian seadanya.
Sementara saat berbicara hanya mangadukan naiknya harga sayuran, lelahnya
mengurus anak dan rumah, mahalnya biaya pendidikan serta mengeluhkan teman,
saudara dan tetangganya. Suaminya pun mendengarkan dengan tidak sabar. Dan saat
mendekatinya, ia hanya mendapati bau masakan di tubuh istrinya, muka masam dan wajah lelah yang lantas tertidur lelap.
Maka sang suami pun mengurungkan niatnya dan mengendur hasratnya. Ia hanya
mampu menatap guling dan bantal dengan perasaan gelisah.
Berapa banyak
suami yang setelah seharian di luar rumah, sepulang kerja dalam keadaan amat
lelah. Lalu menghabiskan seluruh makanan yang dihidangkan serta bergegas menuju
ranjang tidurnya sambil sibuk mengutak atik hp-nya dan tertidur pulas. Dengan
naifnya ia langsung terlelap dengan mimpi tidurnya, tanpa sempat sedikit pun
melirik indahnya gaun yang dikenakan sang istri ataupun aroma parfum yang menyelimuti
tubuh dan ruangan. Sedangkan sang istri tidak berdaya dan hanya bisa mengadu
kepada bantal dan gulingnya.
Tidak jarang pasutri
yang banyak memuji perilaku pasangannya yang sangat baik serta kemuliaan akhlaqnya
pada tahun-tahun awal pernikahan, tetapi semua kebaikan itu seolah menguap
seiring perjalanan waktu karena lemahnya penjagaan. Dan salah satu pemicunya adalaha
aktivitas hubungan seksual. Tiada lagi kehangatan dan hasrat menggebu laiknya
pengantin baru. Seolah lilin cinta yang dahulu membakar kini telah padam
nyalanya. Berganti suasana beku yang dingin dan membosankan. Setiap adegan
percintaan pun seakan-akan hanya menjadi rutinitas penunaian kewajiban yang
berakhir dengan saling beradu punggung di akhir adegan. Masing-masing tidak
lagi memedulikan kebutuhannya sebagaimana masa awal pernikahan.
Para pakar di
bidang hubungan pasutri telah sepakat bahwa ketidakharmonisan hubungan seksual
adalah salah satu penyebab utama terjadinya berbagai permasalahan rumah tangga.
Dari mulai kekerasan dalam rumah tangga, penyimpangan seksual, stress,
perselingkuhan, hingga berakhir dengan perceraian. Sebagian mereka merasa malu
kalau membicarakan problem seksual yang mereka alami dan membiarkannya
memburuk.
Ibnul Jauzy
dalam kitab Shaidul khatir mengemukakan, “Karena membuka aurat dan melakukan
hubungan badan yang terjadi pasca pernikahan adalah sesuatu yang ditolak oleh
jiwa-jiwa yang mulia, maka syahwat yang mendorong melakukannya pun diciptakan,
supaya tujuan pernikahan bisa tercapai. Setelah merenungkan lebih mendalam
lagi, aku berhasil menyimpulkan bahwa tujuan utama pernikahan --lahirnya keturunan, rupanya
diperkuat tujuan lain, yakni mengeluarkan air mani hingga habis, di mana ia
akan mendatangkan bahaya bila ditahan dalam waktu yang lama. Air mani yang tertahan akan melahirkan berbagai macam
penyakit, memunculkan beraneka warna pikiran negatif serta melahirkan cinta
buta, was-was dan gangguan-gangguan lainnya. “
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa : Pertama, seksualitas
adalah aktifitas biologis yang berhubungan erat dengan eksistensi manusia dan
kelestarian kehidupan sebagai tujuan utama pernikahan. Siapapun orangnya dan di
belahan bumi manapun ia pasti akan mengetahui kebutuhannya untuk memenuhi
naluri ini.
Kedua, aktifitas
seksual hampir tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas emosional yang berkaitan
erat dengan perasaan seseorang yang paling dalam dan pembentukan kepribadian. Sehingga
pasutri hendaknya tidak terperangkap dalam berbagai kesalahan yang menyebabkan
terjadinya kegagalan dalam aktivitas ini, yang bisa berakibat kegagalan hidup
berumah tangga secara keseluruhan.
Rasulullah saw
mengajarkan bagaimana etika mengumpuli istri. Apa yang harus diucapkan sebelum
berjimak dan bagaimana mengawali persenggamaan. Bahkan, beliau juga
menasehatkan agar tidak terburu-buru menyelesaikan hajat sebelum istri
menyelesaikan hajatnya.
Dr. Karim
Asy-Syadzili mengungkapkan, “Orang yang memperhatikan as-sunnah akan
mendapati sebuah manhaj yang sempurna yang mengatur seluruh hubungan sosial tak
terkecuali hubungan seksual. Jika kita memperhatikan kitab-kitab fikih akan
melihat dengan jelas bahwa kitab-kitab itu memuat lebih dari 100 hukum fikih
berkenaan dengan hubungan seksual (secara syar’i ataupun tidak).”
(Dimuat pada rubrik "Pernik Keluarga" Majalah Arsada Edisi Mei 2016)
0 komentar:
Posting Komentar